scrip header 2 yang di pindah hulahu

Sunday, September 23, 2012

HEDONISME DIKALANGAN PEJABAT NEGERI INI




Zaman Kami

Zaman kami zaman membakar
Zaman jang penuh perdjuangan
Dan kami generasi kini
Berdjuang dalamnja bagai pahlawan

Pada wadjah kami bersinar
Indah tjemerlang tjahja kemenangan
Djantung kami berdegup gumbira
Seperti akan melihat tunangan

Kami berdjuang menjerahkan djiwa
Pada zaman jang perlukan kami
Dalam kekalahan zaman sekarang
Kamilah rasul kemenangan nanti

Seperti dari puntjak gunung jang tinggi
Kita lebih dahulu dapat melihat,
Tjahaja fadjar kemerah-merahan
Tanda matahari akan terbit
Sedang djauh didalam lembah
Semuanja masih gelap-gulita
Demikianlah djiwaku lebih dahulu
Dari puntjak gunung puisi
Dapat melihat sinar memerah
Sinar fadjar kemenangan kita
Sedang dalam kehidupan sehari-hari
Semuanja masih gelap-gulita


APA ITU HEDONISME

Hedonisme merupakan pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia.

Kata hedonisme diambil dari Bahasa Yunani á¼¡Î´Î¿Î½Î¹ÏƒÎ¼ÏŒÏ‚ hÄ“donismos dari akar kata á¼¡Î´Î¿Î½Î® hÄ“donÄ“, artinya "kesenangan". Paham ini berusaha menjelaskan adalah baik apa yang memuaskan keinginan manusia dan apa yang meningkatkan kuantitas kesenangan itu sendiri.

Hedonisme muncul pada awal sejarah filsafat sekitar tahun 433 SMHedonisme ingin menjawab pertanyaan filsafat "apa yang menjadi hal terbaik bagi manusia?"  ini diawali dengan Sokrates yang menanyakan tentang apa yang sebenarnya menjadi tujuan akhir manusia. Lalu Aristippos dari Kyrene (433-355 SM) menjawab bahwa yang menjadi hal terbaik bagi manusia adalah kesenangan. Aristippos memaparkan bahwa manusia sejak masa kecilnya selalu mencari kesenangan dan bila tidak mencapainya, manusia itu akan mencari sesuatu yang lain lagi. Pandangan tentang 'kesenangan' (hedonisme) ini kemudian dilanjutkan seorang filsuf Yunani lain bernama Epikuros (341-270 SM). Menurutnya, tindakan manusia yang mencari kesenangan adalah kodrat alamiah. Meskipun demikian, hedonisme Epikurean lebih luas karena tidak hanya mencakup kesenangan badani saja --seperti Kaum Aristippos--, melainkan kesenangan rohani juga, seperti terbebasnya jiwa dari keresahan.


HEDONISME DI KALANGAN REMAJA

  




Kesenangan yang berlebihan tanpa melihat orang-orang disekitar sepertinya sudah mulai nampak di Indonesia. Sudah banyak masyarakat di indonesia tidak lagi mempedulikan yang namanya silaturrahmi antara individu satu dengan individu lainnya, padahal budaya Indonesia sudah sangat terkenal dengan keramahannya dengan masyarakat lain. Dan salah satu penyebab dari masalah ini adalah pengaruh hedonisme. Dengan ikutnya Indonesia ke era globalisasi, maka secara tidak langsung masyarakat di Indonesia juga mulai berkiblat ke budaya barat. Secara otomatis pengaruh hedonisme juga sudah muncul di Indonesia. kenyataan hal tersebut memang benar adanya, seperti : ramainya tempat hiburan malam, anak muda sudah banyak yang mabuk-mabukan yang berakibat pada keributan dan lebih parah dari itu adalah maraknya pencinta sesama jenis di Indonesia. Tidak hanya itu dampak lain yang diterima Indonesia akibat hedonisme adalah banyaknya pelajar yang malas untuk belajar atau tidak ada lagi semangat untuk belajar akibat kesenangan yang memanjakan mereka, selain itu sudah banyak pula masyarakat di Indonesia yang terlalu mengagungkan kesenangan duniawi, sehingga lupa akan tujuan hidupnya dan hubungan silaturrahmi di Indonesia sudah mulai redup, baik individu dengan individu lain, maupun dengan masyarakat karna mereka mementingkan diri sendiri tanpa melihat di sekitar.

“Virus” hedon tidak hanya menyerang orang dewasa yang sudah bekerja. Dari anak-anak hingga orang tua tak luput dari ancaman virus ini. Anak pun kecendrungan hedonistis. Akibat kodrat biologis dan belum jalanya daya penalaran, anak harus bergantung pada ibu atau orang lain. seperti, minum dibuatkan, makan disuapin. Ia menggantungkan hidupnya pada orang lain karena ia belum sanggup mengerjakan sendiri. Generasi yang paling tidak aman terhadap hedonis adalah remaja. Karena remaja sangat antusias terhadap adanya hal yang baru. Gaya hidup hedonis sangat menarik bagi mereka, daya pikatnya sangat luar biasa. Sehingga dalam waktu singkat munculah fenomena baru akibat paham ini. Fenomena muncul, ada kecenderungan untuk lebih memilih hidup enak, dan mewah. Title” remaja yang gaul dan funky” baru melekat bila mampu memenuhi standar tern saat ini, yaitu minimal harus mempunyai handpone, lalu baju serta dandanan yag selalu mengikutu mode. Hedonisme terjadi karena adanya perubahan perilaku pada mesyarakat yang hanya menghendaki kesenagan. Perilaku terebut lama kelaman mengakar dalam kehidupan masyarakat termasuk para remaja yang pada akhirnya menjadi seprti sebuah budaya bagi mereka. Dalam identifikasi mentalitas budaya yang dikemukakan Sorokin, sikap hedonisme yang telah menjadi budaya hedon di kalangan remaja dimasukkan dalam kebudayaan indrawi. Yaitu kebudayaan indrawi pasig dan kebudayaan idrawi sinis.

Maraknya kasus seks bebas yang dilakukan remaja akhir-akhir ini merupakan akibat pengaruh globalisasi. Untuk itu, orangtua harus bisa menjaga perilaku anaknya agar tidak terpengaruh dengan perilaku seks bebas. "Pengaruh seks bebas memang tidak bisa dihindari, karena sekarang ini zaman globalisasi," kata Ayu Dyah Pasha, pemerhati masalah kepribadian kepada wartawan di sela acara audisi Kotex be You Girl 2008 di Hotel Sheraton Surabaya, Sabtu (28/6/2008), pengaruh perilaku seks bebas bisa dihindari. "Kuncinya pada orang tua. Bagaimana orang tuanya menjaga anak-anaknya dan memperhatikan perilaku anaknya agar tidak terpengaruh dengan perilaku seks bebas," ujarnya. Ibu dua anak yang juga berkecimpung di dunia sinetron itu mengatakan, pengaruh seks bebas adalah gejolak yang wajar.Tapi, semua pihak harus bisa menjaganya agar kaum remaja itu tidak terpengaruh denga perilaku seks bebas."Semua pihak harus bisa menjaga agar jangan samapi terjadi perilaku seks bebas. Termasuk para wartawan. Jangan memberikan judul yang bombastis, menakutkan dan menyeramkan. Riene, pemerhati masalah remaja, menilai pengaruh seks bebas di era globalisasi memang tidak bisa dihindari.


Eksistensi kaum muda remaja hanya ditempatkan pada pengakuan-pengakuan sementara, misalnya seorang remaja dianggap eksistensinya ada jika remaja tersebut masuk menjadi anggota geng motor, menggunakan baju-baju bermerk, menggunakan blueberry, dugem, clubbing, melakukan freesex, ngedrugs, dan lain sebagainya. Eksistensi kaum muda remaja hanya dihargai sebatas kepemilikan dan status semata. Jika pendangkalan ini terus dipelihara dan dibudidayakan dikalangan remaja kita, makna dan penghargaan terhadap insan manusia semakin jauh. Hasilnya adalah menghilangnya penghargaan terhadap manusia lainnya, misalnya: perang, pemerkosaan, komersialisasi organ tubuh, trafficking, tawuran, dll. Contoh-contoh ini menjadi indikasi kehancuran sebuah kebudayaan yang dimulai dari pergeseran nilai-nilai budaya di kalangan kaum muda remaja kita. Dampak yang sangat menyedihkan dan mengkhawatirkan!


HEDONISME DIKALANGAN PEJABAT


Rumah megah, mobil keluaran eropa terbaru, villa di pegunungan, rekening di luar negri, adalah gaya hidup pejabat sekarang. Sifat dan perilakunya dapat dikategorikan sebagi Hedonisme, suatu pandangan dimana orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak-banyaknya dengan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan.
Gaya hidup hedonis di kalangan pejabat publik terutama sebagian anggota DPR, belakangan ini marak disorot publik. Ada sejumlah anggota legislatif memiliki koleksi mobil seperti mobil super mewah asal Inggris, Bentley, yang harganya mencapai 7 miliar rupiah. Sementara itu di parkiran gedung DPR sendiri, mobil-mobil mewah semacam Alphard acap terpampang di sana dan sudah menjadi pemandangan sehari-hari.

Tentu saja perilaku beberapa anggota dewan tersebut mendapat kecaman publik secara luas. Mereka dianggap tidak peka terhadap kehidupan rakyat yang sebagian besar tengah mengalami berbagai kesulitan ekonomi. Mereka seolah hanya memikirkan kenyamanan dan kenikmatan hidup sendiri dan keluarganya saja, tanpa memikirkan hidupan orang lain. Mereka seakan membangun dunianya sendiri yang terpisah dari dunia orang lain.

Sayangnya, argumen-argumen yang dikemukakan sejumlah anggota dewan yang kedapatan memiliki mobil mewah itu bersifat reaktif bahkan terkesan apalogetik. Setidaknya, ada tiga argumen yang mereka kemukakan terkait hal tersebut.
Pertama, sebagian anggota dewan mengatakan bahwa mengapa para politisi Senayan yang selalu disorot. Padahal, para pejabat publik di negeri ini pada umumnya juga bergaya hidup hedonis. Sungguh ironis kalau mereka berargumen seperti ini karena seolah menunjukkan ketidakpahaman terhadap posisi dan fungsi mereka sebagai anggota dewan. Mereka lupa bahwa DPR adalah lembaga yang mewakili rakyat dan duduknya mereka di lembaga terhormat tersebut karena suara rakyat.
Dengan demikian, gaya hidup hedonis mereka tidak saja bisa melukai hati rakyat yang justru tengah dihimpit berbagai kesulitan hidup, namun juga mencerminkan ketidakpatutan bagi seseorang atau kelompok yang mewakili rakyat. Di satu sisi, mereka selalu mengatakan siap membela kepentingan rakyat. Tetapi, di sisi lain, mereka terperosok ke dalam gaya hidup yang sangat kontras dengan kehidupan rakyat yang mereka hendak bela.
Kedua, sebagian anggota lainnya berargumen tidak apa-apa memiliki koleksi mobil mewah sepanjang didapat dengan cara yang halal atau tidak melalui korupsi. Boleh jadi, hal itu benar karena banyak anggota dewan yang memiliki latar belakang pengusaha sehingga sudah kaya-raya sebelum menjadi anggota dewan. Namun, harus diingat bahwa gaya hidup hedonis merupakan penyakit yang bersifat menular dengan cepat. Orang mudah tergoda untuk berperilaku yang sama ketika orang-orang di sekitarnya melakukan hal tersebut.

Secara sosiologis, faktor lingkungan sangat memengaruhi kehidupan sosial. Bukan tidak mungkin, beberapa anggota dewan yang pada awalnya belum mengecap gaya hidup hedonis, kemudian bisa terpengaruh oleh perilaku anggota dewan lainnya yang hedonis. Celakanya, kalau untuk mengikuti tren gaya hidup tersebut, mereka melakukan korupsi supaya cepat dapat meraihnya. Ini sangat mungkin terjadi mengingat banyak anggota dewan yang semula diperkirakan bakal tahan terhadap godaan korupsi, ternyata tidak berdaya begitu masuk lingkungan Senayan.
Ketiga, argumen sebagian anggota dewan yang menyebutkan bahwa masalah gaya hidup merupakan pilihan atas kehidupan masing-masing yang tidak perlu diurusi dan diintervensi, sungguh menyedihkan melihat posisi mereka sebagai elite masyarakat. Bukankah semua perilaku mereka akan dilihat oleh orang banyak yang sejatinya bisa diteladani? Padahal, di negeri ini krisis keteladanan pemimpin tengah menggerogoti hampir semua ranah kehidupan. Maka, jangan disalahkan jika nanti rakyat yang mereka wakili meniru gaya hidup hedonis mereka.

Betapa pun sikap hidup hedonis yang dipertontonkan sebagian anggota legislatif dan para pejabat publik di negeri ini sudah sedemikian mewabah, namun untuk mengaturnya di dalam sebuah peraturan, tidak perlu dilakukan. Masalah gaya hidup adalah masalah cara bagaimana orang memandang dan menikmati hidup dan kehidupannya. Dengan kata lain, ini sebenarnya menyangkut masalah moralitas atau etika hidup. 
(http://www.suarakarya-online.com)

suburnya perilaku hedonis di kalangan politisi juga membuat masalah moralitas pejabat publik semakin kompleks. Mereka pada umumnya semakin lupa akan tugas utama sebagai pemberi pencerdasan politik rakyat dan tanggung jawab awal mereka sebagai pelayan masyarakat dus ikut menciptakan kesejahteraan rakyat. Keterlenaan mereka terhadap materi membuat mereka semakin lupa akan realitas sosial. Perhatian mereka pun kian hanya tercurah untuk mengamankan golongan politik mereka, yang hingga kini tidak henti-hentinya dihujani peluru panas kritik publik. 

Pendulum politik yang sejatinya mengarah pada pencerdasan dan pemugaran bangunan publik, tampak semakin berbalik arah, dan rakyat pun hanya dapat termangu lesu memikirkan nasibnya. Sinergi antara politisi dan rakyat pun dinilai hanya berada dalam arena kampanye menjelang pemilu, tempat janji-janji ditebarkan, guna meraup suara sebanyak mungkin demi peraihan kekuasaan. Setelah itu, jurang pemisah rakyat-politisi semakin lebar, keadaan harmonis dan sinergis laiknya waktu kampanye pudar dan langsung berganti ingar-bingar kasus suap dan korupsi yang meruyak. 

Tren jatuh-bangun kasus suap dan korupsi begitu menjamur. Perilaku hedonis yang mementingkan kenikmatan badani semakin menjadi tren hidup. Politik, yang sejatinya merupakan arena untuk membaktikan diri demi meningkatkan kesejahteraan rakyat dus mentransferkan energi kekuasaan dan mendistribusikan kedaulatan ke muara populis, semakin tersumbat, hanya dipenuhi egoisme diri yang mementingkan kelompok dan mengabaikan kepentingan rakyat. 

Tidak heran, suap dan korupsi terus mengembuskan bau amis di tengah kehidupan politik. Apa jadinya dengan nasib bangsa ke depan? Perlu digarisbawahi, korupsi dan suap, yakni perilaku anomali pejabat publik, terutama para politisi, sejak dahulu memang menjadi ancaman serius peradaban besar seperti Romawi. Sebab, krisis moral sungguh merontokkan fondasi negara dan menggiring bangsa ke jurang kehancuran. 


CONTOH KASUS

Gayus Tambunan bukan hanya fenomena hukum dan politik. Ia juga fenomena sosiologis. Gayus adalah simbolisasi keruntuhan moral, etika, dan nilai-nilai seorang aparatur negara. Dia adalah anak kandung dan "korban" dari masyarakat yang sakit. Masyarakat yang mengagungkan nilai-nilai hedonisme, materialisme, dan konsumerisme. Kasus Gayus adalah kesalahan kita semua. Sesungguhnya fenomena Gayus merupakan manifestasi dari ideologi kerakusan dan hedonisme di kalangan pejabat kita, suatu paham yang kemudian disebut "Gayusisme". Saya akan menjelaskan lebih jauh ideologi ini dari perspektif sosiologi korupsi.


TEORI RUNTUHNYA NEGARA

Ibnu Khaldun dalam karya momumentalnya, The Muqaddimah an Introduction to History (1989), mengingatkan perilaku hedonis serba serakah serta tabiat kekuasaan yang egoistis dan tidak dikelola dengan baik menggiring bangsa dan negara ke jurang kehancurannya. Melalui teori siklus peradaban, Ibnu Khaldun menjelaskan proses kehancuran negara dalam tiga fase. 

Pertama, tabiat kekuasaan nan serakah selalu menumpuk di satu tangan (the royal authority, by its very nature, must claim all glory for it self). 

Meski kekuasaan itu awalnya diperjuangkan oleh banyak orang, namun kemudian dimonopoli oleh satu orang dengan kekayaan dan segala fasilitas dikuasai dan dinikmati oleh segelintir orang. Maka, kekuasaan negara menjadi kian rapuh dan tidak kuat menahan terjangan badai persoalan yang datang bertubi. 

Kedua, tabiat kekuasaan yang menghendaki kemewahan yang berselimutkan kemalasan dan instanisme, ingin cepat kaya dengan menempuh jalan pintas (the royal authority, by its very nature, requires luxury). 

Situasi ini ditandai pula dengan korupsi dan suap serta aneka kejahatan moral lainnya yang kian merusak akhlak dan keadaban bangsa. Jika keadaan ini tidak segera dikendalikan, kehancuran dan rontoknya bangsa sudah di pelupuk mata. 

Ketiga, tabiat kekuasaan yang melumpuhkan keberanian, kejuangan, kejujuran, dan seterusnya, karena dibungkus pola hidup mewah dengan semangat hidup hedonistik yang semakin menggila. Padahal, negara yang semakin tua semestinya menghendaki tabiat kekuasaan yang stabil dan tenang (the royal authority, by its very nature, requires tranquility and rest). 

Sungguh tragis nasib sebuah bangsa jika para penguasa, pejabat, dan kaum elite negeri sudah dirasuki semangat hedonisme. Karena kelompok ini adalah kelompok strategis yang semestinya memberikan cermin keteladanan bagi masyarakat. 

Tatkala masyarakat kehilangan keteladanan dari para elite negeri, di mana mereka terus mengumbar perilaku hedonis, maka akan terus tumbuh subur perilaku hedonis di tengah masyarakat. Jika sudah demikian, nasib bangsa seperti dikatakan di atas, berada di ambang kehancuran dan keruntuhannya. 

Jadi, solusi etisnya adalah para penguasa, pejabat, atau para elite negeri semestinya selalu memberikan keteladanan bagi masyarakat dengan selalu memperhatikan sisi etis dan moral di tengah masyarakat. Pencitraan hidup sederhana harus diusung oleh kaum elite. Perilaku elite yang menodai etika dan mengabaikan moralitas akan semakin membunuh akhlak dan membinasakan nurani masyarakat. 

Bagi elite negeri mesti menyadari perihal seperti dikatakan filsuf sekaligus seniman Jean Jaques Rousseau, setiap warga negara saja wajib merasa diri tidak henti-hentinya berada di bawah pengawasan publik. Bagaimana jadinya jika itu tidak disadari oleh kaum elite negeri yang memiliki posisi strategis dalam memberikan citra dan contoh di tengah masyarakat? 

Karena kaum elite negeri itu, entah dia seorang pejabat publik sebagai pemegang kekuasaan atau bukan, ia tetap laksana pemimpin yang harus memiliki komitmen etis dan leadership moral, serta kepekaan nurani. Karena posisi elite itu sendiri hakikatnya selalu mengandung dimensi moral-etis. 

Referensi Dari Bebagai Blog

0 comments:

Post a Comment