PENDIDIKAN DEMOKRASI ALA
KAPITALISME
Dalam Pandangannya, Giroux pendidikan dengan
pisau analisis teori kritis sangat dipengaruhi oleh pemikiran Paulo Freire. Pendidikan menurut Henry Giroux pada hakikatnya
adalah sebagai wahana mengasah sikap
kritis dan politis untuk menciptakan demokrasi yang sesungguhnya, bukan demokrasi semu dalam
masyarakat kapitalis-elitis. Pendidikan berperan untuk mengubah masyarakat menuju keadaan yang setara dan
berkeadilan. Sekolah sebagai lembaga
pendidikan lebih dimaknai sebagai ruang publik yang demokratis yang di dalamnya
peran guru sebagai intelektual transformatif sangat penting. Sekolah yang dikelola dengan manajemen dan kontrol administrator yang
terukur secara kuantitatif tidak akan menghasilkan siswa pembelajar yang
sesungguhnya. Guru sebagai intelektual transformatif
diartikan bahwa guru bertindak sebagai perancang kondisi kelas dan
pembimbing bagi siswa untuk terlibat dalam dialog kritis yang menyadarkan siswa
akan perannya di masa kini dan masa depan dalam masyarakat demokratis. Guru dapat
berperan sebagai intelektual ketika sistem persekolahan memberi peluang guru untuk
berbeda, berinovasi dengan berbasis pada
multikultur pengetahuan.
Berbicara tentang hubungan antara demokrasi (democracy) dan pendidikan (education), mau
tidak mau, seperti ditegaskan oleh Chomsky, kita akan berjumpa dengan pemikiran
salah satu filsuf besar Amerika Serikat di abad kedua puluh, yakni John Dewey. Chomsky
sendiri mengakui, bahwa pemikiran Dewey tentang pendidikan juga mempengaruhi
pemikirannya. Salah satu argumen yang cukup menarik, yang diajukan oleh Dewey
adalah, bahwa reformasi pendidikan (reform in education), atau perubahan paradigma
pendidikan, perlu dilakukan sejak orang masih berusia muda. Dalam konteks ini,
tetaplah perlu diperhatikan, bahwa menurut Dewey, tujuan pendidikan bukanlah
menghasilkan barang-barang bagus yang bisa dijual dan menambah kas negara,
melainkan menghasilkan manusia-manusia bebas (produces free men) yang mampu berhubungan satu sama
lain dalam situasi yang setara (equal relation). Itulah
tujuan pendidikan yang sejati, yang sekarang ini banyak terlupakan.
Pada masa Dewey
hidup, dan juga, pada hemat saya, sekarang ini, pendidikan sedang diancam oleh
dua kekuatan besar. Yang pertama adalah kekuatan dari rezim-rezim otoriter (authoritarian regimes)
yang ingin menciptakan manusia-manusia yang tunduk dan patuh (docile human) pada
ideologi yang ada. Sementara yang kedua adalah kekuatan dari sistem kapitalisme
yang hendak mengubah konsep warga negara (citizenship) yang bebas menjadi konsep konsumen (consumer) yang
bebas, yang pikirannya hanya terfokus pada konsumsi tanpa batas semata. Dua
kekuatan ini, pada hemat saya, masih dapat kita temukan sekarang ini. Rezim
otoriter sekarang ini banyak mengatasnamakan agama dan tradisi untuk
melenyapkan kebebasan manusia. Sementara sistem kapitalisme, dengan daya pikat
konsumtivismenya, masih mencengkram pikiran banyak orang, sehingga mereka
kehilangan kesadarannya sebagai warga negara, dan hanya semata sibuk
mengumpulkan uang, serta membeli lebih banyak barang (consumo ergo sum= aku membeli maka
aku ada). Dua kekuatan ini
bersikap menindas pada kebebasan sejati manusia, yang merupakan tujuan dasar pendidikan.
Yang harus
diperhatikan adalah, bahwa Dewey dan Chomsky adalah pemikir-pemikir besar dunia
yang memiliki akar kuat pada pemikiran Marxisme (marxism) sekaligus liberalisme klasik (classical liberalism).Walaupun
terlihat berbeda, dua aliran berpikir tersebut amat menekankan kebebasan
manusia di hadapan masyarakat dan alam. Sistem kapitalisme pasar bebas (free market capitalism)
dengan tirani modalnya dan sistem totalitarisme religius (religious totalitarianism) dengan
tirani imannya jelas berseberangan amat tajam dengan kedua aliran berpikir
tersebut. Totalitarisme religius menginginkan terciptanya manusia-manusia yang
tunduk dan patuh pada doktrin-doktrin religius yang seringkali bersifat
eksklusif dan tradisional. Sementara kapitalisme pasar bebas mengingkan
terciptanya manusia-manusia yang menjadikan uang dan daya beli sebagai
satu-satunya ukuran kemanusiaan seseorang. Keduanya menjajah kebebasan, dan
keduanya menciptakan penderitaan dalam hidup manusia. Pendidikan di dunia
haruslah menyadari pengaruh dua hal tersebut, dan bersikap kritis terhadapnya.
Chomsky mengajak
kita kembali mengingat tujuan utama pendidikan, yakni menghasilkan
manusia-manusia yang bebas, yang mampu berhubungan satu sama lain dalam situasi
dan kondisi yang setara. Maka dapatlah dikatakan, bahwa pendidikan adalah suatu
proses produksi, namun bukanlah produksi barang-barang dengan cetakan ketat
yang telah ditentukan sebelumnya, melainkan produksi manusia-manusia bebas. Di
sisi lain, Chomsky juga mengutip pendapat Bertrand Russell, seorang filsuf
besar asal Inggris di awal abad keduapuluh lalu, tentang pendidikan. Baginya,
pendidikan adalah suatu proses untuk memberi makna dari segala sesuatu, dan
bukan untuk menguasainya (manusia dan alam). Pendidikan juga adalah proses
untuk menciptakan warga negara yang bijak dan masyarakat yang bebas (wise citizens and free society).
Dalam arti ini, menurut Russell, sebagaimana dibaca oleh Chomsky, kebijaksanaan
publik seorang warga negara mencakup dua hal, yakni kepatuhan pada hukum
seorang warga negara pada hukum di satu sisi, dan kreativitas individual dalam
berkarya serta mencipta ulang hidupnya di sisi lain. Kedua aspek ini harus
berjalan seimbang dan dinamis.
Analogi yang diberikan
Russell adalah, bagaikan seorang tukang kebun (guru dan masyarakat) merawat
tanaman yang indah (siswa dan siswi) yang dilihat sebagai sesuatu yang bernilai
pada dirinya sendiri, dan memberikannya pupuk yang menyuburkan, air, serta
sinar matahari yang menumbuhkan. Inilah yang disebut Chomsky, dengan mengutip
Dewey dan Russell, sebagai paradigma humanistik dalam pendidikan (humanistic paradigm in
education). Akar dari paradigma ini, menurutnya, adalah tradisi
filsafat pencerahan (enlightenment philosophy) yang melihat manusia subyek
yang bebas dan berpikir (free and thinking subject). Dalam konteks ini,
pendidikan bukanlah seperti mengisi ember dengan air sampai penuh, seperti
mengisi kepala peserta didik sampai penuh, melainkan bagaikan menemani sebuah tanaman,
sampai ia bisa berkembang sesuai dengan jati diri tanaman tersebut, seperti
menemani peserta didik, sehingga ia bisa berkembang sesuai dengan jati dirinya. “Dengan kata lain,” demikian tulis
Chomsky, “(tujuan pendidikan-Reza) adalah untuk menciptakan situasi-situasi
yang memungkinkan pola-pola kreatif yang normal bisa bertumbuhkembang dengan
baik.” Dalam bahasa yang lebih
lugas, tujuan pendidikan adalah menciptakan situasi yang memadai, sehingga
kreativitas bisa bertumbuh di berbagai bidang, terutama dalam diri peserta
didik yang notabene adalah anak-anak kita juga.
Jika sistem
pendidikan kita di Indonesia memahami dan memeluk paradigma pendidikan humanistik
ini, menerapkannya dalam kurikulum dan kebijakan pendidikan nasional, serta
memastikan pelaksanaannya dengan baik, maka bangsa kita, menurut saya, sejalan
dengan pemikiran Chomsky, bisa menciptakan manusia-manusia yang terbebas dari
pola pikir menguasai (dominasi) dan mengumpulkan harta serta kuasa semata. Yang
ada kemudian, sebagai hasil dari sistem pendidikan humanistik yang (andaikan)
telah kita ciptakan, adalah manusia-manusia yang fokus hidupnya adalah
menciptakan hubungan-hubungan yang setara antar manusia, kerja sama lintas
suku, agama, dan ras, mampu dan mau berbagi, serta berpartisipasi untuk
menciptakan kebaikan bersama secara demokratis. Sekarang ini, di Indonesia, dan di
seluruh dunia, pada hemat saya, paradigma pendidikan yang digunakan adalah
paradigma dominasi dan kompetisi (competitive and dominating paradigm). Artinya, segala
sesuatu harus dilombakan, dan pemenang bisa mendapatkan segalanya, mulai dari
uang, kekuasaan, dan, tentu saja, kenikmatan tanpa batas. Dalam bahasa Adam
Smith, sebagaimana dikutip oleh Chomsky, yakni pendidikan yang menjadikan
manusia sebagai penguasa dari manusia lainnya, yang rakus, serta tidak ingin
membagikan apapun untuk siapapun, kecuali itu memberikan keuntungan pada
dirinya. Sadar atau tidak, pola
berpikir inilah yang kita kembangkan di dalam sistem pendidikan kita di
Indonesia, dan kita tanamkan secara sistematik serta represif pada anak-anak
kita.
Chomsky menegaskan,
betapa besarnya pertentangan antara paradigma pendidikan humanistik yang
dirumuskan oleh Dewey dan Russell, sebagai pewaris filsafat pencerahan, di satu
sisi, dan paradigma pendidikan kompetitif dan dominatif yang sekarang ini
digunakan di berbagai negara, dan juga, menurut saya, di Indonesia di sisi
lain. Bahkan dengan agak sinis, Chomsky menyatakan, bahwa seluruh paradigma
dominatif dan kompetitif dalam pendidikan dapat diringkas dalam satu kalimat
berikut, yakni pendidikan yang berfokus untuk mencapai prestasi, “memperoleh
kekayaan, dan melupakan semua, kecuali dirinya sendiri”. Yang menarik, menurut saya, adalah betapa
sering argumen ini dikaitkan dengan pemikiran Adam Smith tentang ekonomi
kapitalis dan pasar bebas. Padahal, menurut saya, sejalan dengan Chomsky, jika
kita secara langsung membaca dan menekuni tulisan-tulisan Adam Smith, terutama
pada buku The Moral Sentiment dan The Wealth of Nations, kita akan menemukan, bahwa,
menurut Smith, fokus dari aktivitas manusia bukanlah kompetisi dan dominasi,
melainkan empati (empathy), kesetaraan antar manusia (human equality),
dan pola kerja kreatif sebagai bentuk kerja sama antar manusia (human creativity and
cooperation). Dalam hal ini, para pemikir pendukung sistem
kapitalisme pasar bebas, menurut saya, bisa dianggap telah memfitnah Adam
Smith, seorang pemikir Inggris besar dan bapak ekonomi, untuk membenarkan
argumen-argumen mereka yang sebenarnya bengkok.
Untuk memberi
contoh konkret atas gejala ini, Chomsky mengajak kita untuk melihat
perkembangan terbaru di Eropa Timur, terutama setelah jatuhnya Uni Soviet sejak
1989 lalu. Ia mengutip ungkapan salah seorang pastur Katolik yang
dulunya adalah seorang pemrotes keras rezim komunis di Jerman Timur. Dalam
salah satu wawancara di New York Times, pastur tersebut berkata begini,
“Kompetisi brutal dan nafsu atas uang menghancurkan perasaan kita sebagai satu
komunitas, serta hampir semua orang merasakan depresi atau ketidakamanan.” Bisa juga dikatakan, bahwa Jerman
Timur keluar dari rezim otoriter komunisme, namun kini justru memasuki rezim
otoriter yang sama sekali lain, yakni sistem kapitalisme dengan obsesinya pada
modal dan penumpukan kuasa tanpa batas, bahkan dengan melindas nilai-nilai
kehidupan komunitas maupun kemanusiaan. Dua hal ini jelas amat menghambat
proses manusia untuk menjadi manusia-manusia bebas yang mampu berelasi satu
sama lain secara setara.
Nilai-nilai
individualistik yang mengabaikan solidaritas sosial berkembang pesat di
berbagai masyarakat dunia sekarang ini. Di satu sisi, orang hanya bisa
mengandalkan dirinya sendiri untuk mencapai keberhasilan dalam hidup. Di sisi
lain, tingkat kecemasan menjadi amat tinggi, karena tidak ada jaring pengaman
yang menangkap mereka, ketika jatuh atau gagal dalam kehidupan. Pada titik ini,
menurut saya, proses globalisasi yang terjadi sekarang ini sebenarnya adalah
proses penyebaran nilai-nilai individualisme khas Amerika Serikat ke seluruh
dunia. Di dalam penyebaran nilai-nilai tersebut, solidaritas sosial yang
menjadi fondasi dari banyak komunitas, dan juga merupakan fondasi bagi
proses-proses demokrasi yang sehat, secara perlahan namun pasti terkikis. Yang
juga perlu diperhatikan, terutama dengan melihat situasi dewasa ini,
nilai-nilai invidiualisme justru membawa kehancuran pada komunitas,
ketidakadilan akibat kesenjangan sosial yang begitu tajam antara si kaya dan si
miskin, serta krisis ekonomi raksasa yang merugikan begitu banyak pihak yang
tak bersalah. Proses globalisasi (baca= Amerikanisasi) bisa dibayangkan sebagai
proses penyebaran “racun” politis ke seluruh dunia. Di dalam semua proses
tersebut, menurut saya, dunia pendidikan di Indonesia, dan juga seluruh dunia,
tidak menjalankan fungsinya sebagai institusi kritis, tetapi justru mengabdi
pada pengembangan sekaligus penyebaran nilai-nilai individualistik yang egois
dan rakus tersebut.
Untuk menjelaskan
argumen ini, Chomsky mengutip tulisan David Montgomery, seorang sejarahwan dari
Inggris. Menurut Montgomery, Amerika Serikat modern adalah negara yang dibangun
dari pemberontakan kelas pekerja terhadap kelas penguasa, mulai dari kelas
penguasa dari Inggris, maupun kelas penguasa modal yang rakus dan enggan
berbagi. Pemberontakan itu berbentuk protes keras dan berkelanjutan dari awal
abad kesembilan belas sampai dengan 1950-an. Chomsky sepakat dengan argumen
ini. Yang melakukan protes ini adalah orang-orang biasa, kaum pekerja,
terutama kaum perempuan. Mereka bangkit dan bekerja sama untuk menolak
nilai-nilai kelas penguasa borjuis yang individualistik, kompetitif, dan penuh
dengan nuansa kerakusan. Mereka memperjuangkan perbaikan untuk nasib mereka
yang direndahkan, dan situasi kerja maupun hidup mereka yang tidak manusiawi.
Perbudakan memang dihapus. Namun, jenis perbudakan baru lahir, yakni apa yang
disebut Chomsky sebagai perbudakan yang bergaji (wage slavery). Pada
saat yang sama, minat pada karya-karya sastra klasik dan filsafat menurun
drastis, terutama di kalangan para pekerja kasar yang hidupnya bagaikan “budak
yang bergaji”. Para pejuang kelas pekerja, sebagian dari mereka adalah kaum
perempuan, menolak tata kelola politis semacam ini, dan mengorganisir gerakan
perubahan (change
movement). Gerakan perubahan tersebut berhasil, dan terciptalah
Amerika Serikat modern.
Referensi dari berbagai Blog
0 comments:
Post a Comment