scrip header 2 yang di pindah hulahu

Saturday, October 6, 2012

PENDIDIKAN DEMOKRASI

PENDIDIKAN DEMOKRASI ALA
KAPITALISME





Dalam Pandangannya, Giroux pendidikan dengan pisau analisis teori kritis sangat dipengaruhi oleh pemikiran  Paulo  Freire.  Pendidikan menurut Henry Giroux pada hakikatnya adalah sebagai wahana  mengasah sikap kritis dan politis untuk menciptakan demokrasi yang  sesungguhnya, bukan demokrasi semu dalam masyarakat kapitalis-elitis. Pendidikan berperan untuk mengubah masyarakat  menuju keadaan yang setara dan berkeadilan.  Sekolah sebagai lembaga pendidikan lebih dimaknai sebagai ruang publik yang demokratis yang di dalamnya peran guru sebagai intelektual transformatif sangat penting. Sekolah yang dikelola  dengan manajemen dan kontrol administrator yang terukur secara kuantitatif tidak akan menghasilkan siswa pembelajar yang sesungguhnya.  Guru sebagai intelektual  transformatif  diartikan bahwa guru bertindak sebagai perancang kondisi kelas dan pembimbing bagi siswa untuk terlibat dalam dialog kritis yang menyadarkan siswa akan perannya di masa kini dan masa depan dalam masyarakat demokratis. Guru dapat berperan sebagai intelektual ketika sistem persekolahan memberi peluang guru untuk berbeda, berinovasi dengan  berbasis pada multikultur pengetahuan.
Berbicara tentang hubungan antara demokrasi (democracy) dan pendidikan (education), mau tidak mau, seperti ditegaskan oleh Chomsky, kita akan berjumpa dengan pemikiran salah satu filsuf besar Amerika Serikat di abad kedua puluh, yakni John Dewey. Chomsky sendiri mengakui, bahwa pemikiran Dewey tentang pendidikan juga mempengaruhi pemikirannya. Salah satu argumen yang cukup menarik, yang diajukan oleh Dewey adalah, bahwa reformasi pendidikan (reform in education), atau perubahan paradigma pendidikan, perlu dilakukan sejak orang masih berusia muda. Dalam konteks ini, tetaplah perlu diperhatikan, bahwa menurut Dewey, tujuan pendidikan bukanlah menghasilkan barang-barang bagus yang bisa dijual dan menambah kas negara, melainkan menghasilkan manusia-manusia bebas (produces free men) yang mampu berhubungan satu sama lain dalam situasi yang setara (equal relation). Itulah tujuan pendidikan yang sejati, yang sekarang ini banyak terlupakan.
Pada masa Dewey hidup, dan juga, pada hemat saya, sekarang ini, pendidikan sedang diancam oleh dua kekuatan besar. Yang pertama adalah kekuatan dari rezim-rezim otoriter (authoritarian regimes) yang ingin menciptakan manusia-manusia yang tunduk dan patuh (docile human) pada ideologi yang ada. Sementara yang kedua adalah kekuatan dari sistem kapitalisme yang hendak mengubah konsep warga negara (citizenship) yang bebas menjadi konsep konsumen (consumer) yang bebas, yang pikirannya hanya terfokus pada konsumsi tanpa batas semata. Dua kekuatan ini, pada hemat saya, masih dapat kita temukan sekarang ini. Rezim otoriter sekarang ini banyak mengatasnamakan agama dan tradisi untuk melenyapkan kebebasan manusia. Sementara sistem kapitalisme, dengan daya pikat konsumtivismenya, masih mencengkram pikiran banyak orang, sehingga mereka kehilangan kesadarannya sebagai warga negara, dan hanya semata sibuk mengumpulkan uang, serta membeli lebih banyak barang (consumo ergo sum= aku membeli maka aku ada). Dua kekuatan ini bersikap menindas pada kebebasan sejati manusia, yang merupakan tujuan dasar pendidikan.
Yang harus diperhatikan adalah, bahwa Dewey dan Chomsky adalah pemikir-pemikir besar dunia yang memiliki akar kuat pada pemikiran Marxisme (marxism) sekaligus liberalisme klasik (classical liberalism).Walaupun terlihat berbeda, dua aliran berpikir tersebut amat menekankan kebebasan manusia di hadapan masyarakat dan alam. Sistem kapitalisme pasar bebas (free market capitalism) dengan tirani modalnya dan sistem totalitarisme religius (religious totalitarianism) dengan tirani imannya jelas berseberangan amat tajam dengan kedua aliran berpikir tersebut. Totalitarisme religius menginginkan terciptanya manusia-manusia yang tunduk dan patuh pada doktrin-doktrin religius yang seringkali bersifat eksklusif dan tradisional. Sementara kapitalisme pasar bebas mengingkan terciptanya manusia-manusia yang menjadikan uang dan daya beli sebagai satu-satunya ukuran kemanusiaan seseorang. Keduanya menjajah kebebasan, dan keduanya menciptakan penderitaan dalam hidup manusia. Pendidikan di dunia haruslah menyadari pengaruh dua hal tersebut, dan bersikap kritis terhadapnya.
Chomsky mengajak kita kembali mengingat tujuan utama pendidikan, yakni menghasilkan manusia-manusia yang bebas, yang mampu berhubungan satu sama lain dalam situasi dan kondisi yang setara. Maka dapatlah dikatakan, bahwa pendidikan adalah suatu proses produksi, namun bukanlah produksi barang-barang dengan cetakan ketat yang telah ditentukan sebelumnya, melainkan produksi manusia-manusia bebas. Di sisi lain, Chomsky juga mengutip pendapat Bertrand Russell, seorang filsuf besar asal Inggris di awal abad keduapuluh lalu, tentang pendidikan. Baginya, pendidikan adalah suatu proses untuk memberi makna dari segala sesuatu, dan bukan untuk menguasainya (manusia dan alam). Pendidikan juga adalah proses untuk menciptakan warga negara yang bijak dan masyarakat yang bebas (wise citizens and free society). Dalam arti ini, menurut Russell, sebagaimana dibaca oleh Chomsky, kebijaksanaan publik seorang warga negara mencakup dua hal, yakni kepatuhan pada hukum seorang warga negara pada hukum di satu sisi, dan kreativitas individual dalam berkarya serta mencipta ulang hidupnya di sisi lain. Kedua aspek ini harus berjalan seimbang dan dinamis.
Analogi yang diberikan Russell adalah, bagaikan seorang tukang kebun (guru dan masyarakat) merawat tanaman yang indah (siswa dan siswi) yang dilihat sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri, dan memberikannya pupuk yang menyuburkan, air, serta sinar matahari yang menumbuhkan. Inilah yang disebut Chomsky, dengan mengutip Dewey dan Russell, sebagai paradigma humanistik dalam pendidikan (humanistic paradigm in education). Akar dari paradigma ini, menurutnya, adalah tradisi filsafat pencerahan (enlightenment philosophy) yang melihat manusia subyek yang bebas dan berpikir (free and thinking subject). Dalam konteks ini, pendidikan bukanlah seperti mengisi ember dengan air sampai penuh, seperti mengisi kepala peserta didik sampai penuh, melainkan bagaikan menemani sebuah tanaman, sampai ia bisa berkembang sesuai dengan jati diri tanaman tersebut, seperti menemani peserta didik, sehingga ia bisa berkembang sesuai dengan jati dirinya. “Dengan kata lain,” demikian tulis Chomsky, “(tujuan pendidikan-Reza) adalah untuk menciptakan situasi-situasi yang memungkinkan pola-pola kreatif yang normal bisa bertumbuhkembang dengan baik.” Dalam bahasa yang lebih lugas, tujuan pendidikan adalah menciptakan situasi yang memadai, sehingga kreativitas bisa bertumbuh di berbagai bidang, terutama dalam diri peserta didik yang notabene adalah anak-anak kita juga.
Jika sistem pendidikan kita di Indonesia memahami dan memeluk paradigma pendidikan humanistik ini, menerapkannya dalam kurikulum dan kebijakan pendidikan nasional, serta memastikan pelaksanaannya dengan baik, maka bangsa kita, menurut saya, sejalan dengan pemikiran Chomsky, bisa menciptakan manusia-manusia yang terbebas dari pola pikir menguasai (dominasi) dan mengumpulkan harta serta kuasa semata. Yang ada kemudian, sebagai hasil dari sistem pendidikan humanistik yang (andaikan) telah kita ciptakan, adalah manusia-manusia yang fokus hidupnya adalah menciptakan hubungan-hubungan yang setara antar manusia, kerja sama lintas suku, agama, dan ras, mampu dan mau berbagi, serta berpartisipasi untuk menciptakan kebaikan bersama secara demokratis. Sekarang ini, di Indonesia, dan di seluruh dunia, pada hemat saya, paradigma pendidikan yang digunakan adalah paradigma dominasi dan kompetisi (competitive and dominating paradigm). Artinya, segala sesuatu harus dilombakan, dan pemenang bisa mendapatkan segalanya, mulai dari uang, kekuasaan, dan, tentu saja, kenikmatan tanpa batas. Dalam bahasa Adam Smith, sebagaimana dikutip oleh Chomsky, yakni pendidikan yang menjadikan manusia sebagai penguasa dari manusia lainnya, yang rakus, serta tidak ingin membagikan apapun untuk siapapun, kecuali itu memberikan keuntungan pada dirinya. Sadar atau tidak, pola berpikir inilah yang kita kembangkan di dalam sistem pendidikan kita di Indonesia, dan kita tanamkan secara sistematik serta represif pada anak-anak kita.
Chomsky menegaskan, betapa besarnya pertentangan antara paradigma pendidikan humanistik yang dirumuskan oleh Dewey dan Russell, sebagai pewaris filsafat pencerahan, di satu sisi, dan paradigma pendidikan kompetitif dan dominatif yang sekarang ini digunakan di berbagai negara, dan juga, menurut saya, di Indonesia di sisi lain. Bahkan dengan agak sinis, Chomsky menyatakan, bahwa seluruh paradigma dominatif dan kompetitif dalam pendidikan dapat diringkas dalam satu kalimat berikut, yakni pendidikan yang berfokus untuk mencapai prestasi, “memperoleh kekayaan, dan melupakan semua, kecuali dirinya sendiri”. Yang menarik, menurut saya, adalah betapa sering argumen ini dikaitkan dengan pemikiran Adam Smith tentang ekonomi kapitalis dan pasar bebas. Padahal, menurut saya, sejalan dengan Chomsky, jika kita secara langsung membaca dan menekuni tulisan-tulisan Adam Smith, terutama pada buku The Moral Sentiment dan The Wealth of Nations, kita akan menemukan, bahwa, menurut Smith, fokus dari aktivitas manusia bukanlah kompetisi dan dominasi, melainkan empati (empathy), kesetaraan antar manusia (human equality), dan pola kerja kreatif sebagai bentuk kerja sama antar manusia (human creativity and cooperation). Dalam hal ini, para pemikir pendukung sistem kapitalisme pasar bebas, menurut saya, bisa dianggap telah memfitnah Adam Smith, seorang pemikir Inggris besar dan bapak ekonomi, untuk membenarkan argumen-argumen mereka yang sebenarnya bengkok.
Untuk memberi contoh konkret atas gejala ini, Chomsky mengajak kita untuk melihat perkembangan terbaru di Eropa Timur, terutama setelah jatuhnya Uni Soviet sejak 1989 lalu. Ia mengutip ungkapan salah seorang pastur Katolik yang dulunya adalah seorang pemrotes keras rezim komunis di Jerman Timur. Dalam salah satu wawancara di New York Times, pastur tersebut berkata begini, “Kompetisi brutal dan nafsu atas uang menghancurkan perasaan kita sebagai satu komunitas, serta hampir semua orang merasakan depresi atau ketidakamanan.” Bisa juga dikatakan, bahwa Jerman Timur keluar dari rezim otoriter komunisme, namun kini justru memasuki rezim otoriter yang sama sekali lain, yakni sistem kapitalisme dengan obsesinya pada modal dan penumpukan kuasa tanpa batas, bahkan dengan melindas nilai-nilai kehidupan komunitas maupun kemanusiaan. Dua hal ini jelas amat menghambat proses manusia untuk menjadi manusia-manusia bebas yang mampu berelasi satu sama lain secara setara.
Nilai-nilai individualistik yang mengabaikan solidaritas sosial berkembang pesat di berbagai masyarakat dunia sekarang ini. Di satu sisi, orang hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri untuk mencapai keberhasilan dalam hidup. Di sisi lain, tingkat kecemasan menjadi amat tinggi, karena tidak ada jaring pengaman yang menangkap mereka, ketika jatuh atau gagal dalam kehidupan. Pada titik ini, menurut saya, proses globalisasi yang terjadi sekarang ini sebenarnya adalah proses penyebaran nilai-nilai individualisme khas Amerika Serikat ke seluruh dunia. Di dalam penyebaran nilai-nilai tersebut, solidaritas sosial yang menjadi fondasi dari banyak komunitas, dan juga merupakan fondasi bagi proses-proses demokrasi yang sehat, secara perlahan namun pasti terkikis. Yang juga perlu diperhatikan, terutama dengan melihat situasi dewasa ini, nilai-nilai invidiualisme justru membawa kehancuran pada komunitas, ketidakadilan akibat kesenjangan sosial yang begitu tajam antara si kaya dan si miskin, serta krisis ekonomi raksasa yang merugikan begitu banyak pihak yang tak bersalah. Proses globalisasi (baca= Amerikanisasi) bisa dibayangkan sebagai proses penyebaran “racun” politis ke seluruh dunia. Di dalam semua proses tersebut, menurut saya, dunia pendidikan di Indonesia, dan juga seluruh dunia, tidak menjalankan fungsinya sebagai institusi kritis, tetapi justru mengabdi pada pengembangan sekaligus penyebaran nilai-nilai individualistik yang egois dan rakus tersebut.
Untuk menjelaskan argumen ini, Chomsky mengutip tulisan David Montgomery, seorang sejarahwan dari Inggris. Menurut Montgomery, Amerika Serikat modern adalah negara yang dibangun dari pemberontakan kelas pekerja terhadap kelas penguasa, mulai dari kelas penguasa dari Inggris, maupun kelas penguasa modal yang rakus dan enggan berbagi. Pemberontakan itu berbentuk protes keras dan berkelanjutan dari awal abad kesembilan belas sampai dengan 1950-an. Chomsky sepakat dengan argumen ini.  Yang melakukan protes ini adalah orang-orang biasa, kaum pekerja, terutama kaum perempuan. Mereka bangkit dan bekerja sama untuk menolak nilai-nilai kelas penguasa borjuis yang individualistik, kompetitif, dan penuh dengan nuansa kerakusan. Mereka memperjuangkan perbaikan untuk nasib mereka yang direndahkan, dan situasi kerja maupun hidup mereka yang tidak manusiawi. Perbudakan memang dihapus. Namun, jenis perbudakan baru lahir, yakni apa yang disebut Chomsky sebagai perbudakan yang bergaji (wage slavery). Pada saat yang sama, minat pada karya-karya sastra klasik dan filsafat menurun drastis, terutama di kalangan para pekerja kasar yang hidupnya bagaikan “budak yang bergaji”. Para pejuang kelas pekerja, sebagian dari mereka adalah kaum perempuan, menolak tata kelola politis semacam ini, dan mengorganisir gerakan perubahan (change movement). Gerakan perubahan tersebut berhasil, dan terciptalah Amerika Serikat modern.

Referensi dari berbagai Blog



0 comments:

Post a Comment